Minggu, 02 Agustus 2009

Nabi saw Tidak Bermuka Masam

(Meluruskan Tafsir Al Qur’an atas Surat 80 : Abasa : 1-11)
Surah 80 (Abasa)


Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
“Dia” bermuka masam dan berpaling (sedang dia bersama nabi).
Karena telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).
Tahukah kamu barangkali dia (si buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Atau dia (ingin) mendapat pengajaran (dari Rasul saw) lalu pengajaran itu memberikan manfa'at kepadanya?
Adapun orang (Pembesar Quraish) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],
maka kamu melayaninya
Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman),
Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera,
Dan dia takut (kepada Allah),
maka kamu mengabaikannya,
Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.


Terdapat beberapa penafsir (termasuk yang ada di terjemahan Al Qur’an yang beredar di Indonesia umumnya) yang menafsirkan “Dia” pada surat 80 ayat 1 sebagai Muhammad saw
Penafsiran ini secara secara langsung menempatkan Nabi Islam saw sebagai pelaku pelecehan terhadap Abdullah ibn Umm Maktoom (seorang yang sudah menjadi Mukmin), dengan menunjukkan muka masam dan berpaling darinya
atau secara tidak langsung mengatakan bahwa Nabi saw berakhlak rendah yang kurang terpuji.
Benarkah demikian ???
Bagaimana neraca kebenaran hati dan akal kita umat Islam dalam menempatkan Nabi saw dalam kedudukan yang sepantasnya bagi beliau???

Hadist sababun nuzul Surat 80 yang menisbahkan “Dia” kepada Nabi saw:
Telah dikatakan bahwa ayat ini diturunkan mengenai Abdullah Ibn Maktoom, dia adalah Abdullah Ibn Shareeh Ibn Malik Ibn Rabi'ah al-Fihri dari suku Bani 'Amir Ibn Louay. Para mufassir banyak meriwayatkan bahwa ketika itu dia datang kepada Pesuruh Allah saat Nabi saw sedang menyampaikan dakwah Islam kepada kaum Quraish antara lain : al-Walid bin al-Mughirah, Abu Jahl Ibn Husham, al-Abbas Ibn Abd al-Muttalib, Umayyah bin Khalaf, Utbah dan Syaibah. Si buta itu berkata: `Wahai Pesuruh Allah, bacakan dan ajarkan kepada ku, apa-apa yang Allah telah ajarkan kepada kamu.' Dia terus memanggil kepada nabi saw dan mengulangi permintaannya, dengan tidak diketahuinya bahwa Nabi saw sedang sibuk menghadapi kaum Quraish yang lain, sehingga timbulah raut ketidaksenangan pada wajah Pesuruh Allah kerana merasa terganggu. Nabi saw berkata pada dirinya sendiri bahwa dengan menyahuti si buta pembesar-pembesar ini akan memandangnya rendah dan akan mengatakan Nabi saw sebagai orang yang pengikutnya adalah orang buta dan juga hamba sahaya, maka baginda berpaling dari diri dia [si buta], dan menghadap kepada pembesar-pembesar yang dengannya nabi saw berbicara. Kemudian ayat itu diwahyukan, dimana Allah SWT menegur Nabi saw
Diriwayatkan kemudian bahwa semenjak itu Rasulullah saw, setiap bertemu Ibn Umm Maktoom akan selalu melayaninya dengan baik dan jika baginda melihatnya, baginda akan berkata, kesejahteraan bagi dirinya yang mana Tuhanku telah menegur ku dengan dirinya.' Nabi saw akan bertanya jika dia memerlukan apa-apa, dan dua kali dia ditinggalkan di Madinah sebagai wakil ketika nabi saw dan mukminin keluar untuk misi peperangan.

Riwayat senada bisa ditemukan dalam kitab Sunan Turmudzi. Ulasan oleh seperti yang diatas telah juga dinyatakan di dalam "al-Durr al-Mantsur", oleh al-Suyuti, dengan ada sedikit perbedaan.

Abul A’la Maududi seorang penafsir al-Quran mempunyai pandangan sederhana. Berikut ini perterjemahannya untuk ayat 80:17 :

"Disini kecaman telah ditujukan terus kepada yang kafir, yang tidak mengindahkan kepada berita kebenaran. Sebelum ini, semenjak awal surah sampai ke ayat 16, kecaman ditujukan walaupun kelihatan kepada nabi saw, tetapi yang sebenarnya bertujuan mengecam mereka yang kafir". (Rujukan: Tafsir al-Quran, oleh Abul Ala Maududi, halaman 1005, dibawah ulasan ayat 80:17 (Islamic Publications (Pvt.), Lahore)

MELURUSKAN TAFSIR SURAT 80 LEWAT METODE TAFSIR AL QUR AN DENGAN AL QUR AN

kalau kiranya Al Qur’an ini bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak didalamnya (4: An Nisaa : 82)
1. Apakah mungkin Nabi saw berahlak buruk dengan melakukan tindakan penghinaan ke pada seorang mukmin yang buta dan miskin demi mendahulukan orang2 kafir Quraish yang kaya dan berpengaruh?
Perhatikan aya-ayat berikut :
Dan berilah peringatan kepada keluarga terdekat, dan berendah dirilah kepada mereka yang mengikutmu, yaitu orang-orang yang beriman (26: Asy Syu’araa :214-215)
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik (15: Al Hijr : 94)
Janganlah kamu sekali-sekali menunjukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan diantara mereka (orang-orang kafir) dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka, dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman (15: Al Hijr : 88)

Dalam ayat-ayat diatas jelas sekali bahwa nabi saw telah diperintahkan oleh Allah untuk berendah diri terhadap orang-orang mukmin dan berpaling terhadap orang-orang kafir. Nabi saw tidak mungkin melanggar perintah Allah.

2. Bagaimana ahlak Nabi saw sebenarnya menurut Al Qur’an?
Perhatikan ayat-ayat berikut :
Demi bintang ketika terbenam ; Kawanmu (muhammad) tidak sesat dan tidak juga keliru ; Dan tiadalah yang diucapkannya (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya sendiri ; Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (53: An Najm :1-4)
Jadi bagaimana nabi saw mengatakan sesuatu yang buruk jika segala perkataannya adalah wahyu atau ilham dari Allah?
Nabi saw TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya
Nun ; Demi kalam dan apa yang mereka tulis; Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (muhammad) sekali-kali bukan orang gila ; Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar dan tidak putus-putus ; Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (khuluqin-azim) (68: Al Qalam : 1-4)
Ulama sepakat Surah al-Qalam [68] diwahyukan sebelum Surah Abasa [80].
Akal orang yang beriman pada Al Quran tidak dapat menerima fakta yang bertolak belakang dimana disatu ayat Allah memuji Nabi saw dari permulaan kenabiannya, bahwa dia mempunyai akhlak yang termulia, dan kemudian pada ayat yang lain yang diturunkan kemudian berbalik mengecam dan mengkritik orang yang sama terhadap perbuatan darinya yang tidak mencerminkan kemuliaan ahlak
Sesungguhnya telah ada pada diri Rosulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (uswatun hasanah)… (33 : Al Ahzab :21)
Allah tidak mungkin memberi manusia teladan ahlak yang tidak baik yang dinisbahkan kepada Nabi saw
3. Apakah Peringatan Allah terhadap orang kafir sama dengan perlakuan Allah terhadap Nabi saw?
Perhatikan ayat-ayat berikut :
Dia bermuka masam dan berpaling (80: Abasa : 1)
Sesudah itu dia bermuka masam dan merengut (74 : Al Muddatstsir :22)
Dalam 30 Juz Al Qur’an kata ‘ABASA (bermuka masam) digunakan oleh Allah 2 kali saja, selain pada surat 80:1 yang lain adalah di surat 74:22 . yang secara jelas pada surat 74:22 tersebut ditujukan kepada Walid bin Mughirah (kafir Quraish).
Tetapi ia mendustakan (rasul) dan berpaling (dari kebenaran) (75 : Al Qiyaamah :32)
Tetapi orang yang berpaling dan kafir (88 : Al Ghaasiyiyah :23)
Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? (96 : Al ‘Alaq :13)
Dalam 30 Juz Al Qur’an, kata TAWALLAA (berpaling) selain pada surat 80:1 digunakan oleh Allah beberapa kali pada surat yang lain yang semuanya merujuk pada perbuatan orang-orang kafir,
SUDAH JELAS NABI SAW TIDAK SAMA APALAGI DAPAT DIPERSAMAKAN DENGAN ORANG KAFIR
4. Bagaimana kontradiksi penggunaan kata “Dia:” dan “kamu” dalam ayatayat pada Al Quran surat 80, sehingga mendorong untuk menisbahkan teguran Allah kepada nabi saw?
Bagaimanapun, yang sebenarnya, Al Qur’an TIDAK memberikan sembarang bukti bahwa orang yang berkerut muka pada si buta adalah nabi saw, dan tidak juga mengatakan kepada siapa ditujukan. Di dalam ayat Al Qur’an di atas Allah TIDAK mengatakan kepada nabi sama dengan nama atau darjah [yaitu Wahai Muhammad, atau Wahai Nabi atau Wahai Rasul] Lebih-lebih lagi terdapat pertukaran ganti nama `dia' didalam dua ayat pertama kepada `kamu' di dalam ayat yang berikutnya disurah tersebut. Allah TIDAK mengatakan:

`Kamu berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling'. Bahkan Allah berfirman:
80:1 “Dia” bermuka masam dan berpaling (sedang dia bersama nabi).
80:2 Karena telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).
80:3 Tahukah “kamu” barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Walaupun jika kita menganggap bahwa `kamu' di dalam ayat yang ketiga ditujukan kepada nabi saw, maka dengan ini jelaslah dari tiga ayat yang diatas bahwa perkataan `dia' [orang yang bermuka masam] dan `kamu' menunjukkan dua individu yang berlainan. Dua ayat yang berikutnya juga menyokong kata-kata itu:

80:5 Adapun orang yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],
80:6 maka kamu melayaninya
80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).

Dari itu orang yang bermuka masam adalah yang lain (bukan) Nabi saw sendiri disebabkan oleh perbedaan yang nyata diantara `dia' dengan `kamu'. Di dalam ayat 80:6 Allah berfirman kepada Nabi saw dengan mengatakan bahwa, menyampaikan kepada ahli Quraish yang sombong, yang bermuka masam kepada si Buta tidak ada faedahnya, dan tidak perlu diutamakan dari menyampaikan kepada si buta, walaupun si buta datang kemudian. Sebabnya adalah, menyampaikan kepada sesaorang yang tidak mau mensucikan dirinya [sehinggakan dia bermuka masam kepada orang yang beriman] tidak akan ada hasilnya.
Para pentafsir al-Quran yang lain berhujah bahwa, bahkan persoalan pada ayat ketiga dan keempat pada surah tersebut mengenai keraguan terhadap Abdullah mendapat faedah atau tidak dari berkata-kata dengan Nabi saw, hanya bisa terdapat di dalam fikiran seorang yang belum memeluk Islam, Ini tidak pernah berlaku di dalam fikiran Nabi saw yang telah disiapkan Allah untuk menyampaikan keimanan kepada semua manusia tanpa memandang kedudukan mereka di dalam kalangan manusia. Berdasarkan itu, mereka merumuskan bahwa perkataan `kamu' pada ayat ketiga masih tidak ditujukan kepada nabi, tetapi menunjukkan kepada salah seorang dari kafir Quraish yang hadir, dan bahwa TIADA dari empat ayat pertama, dari surah tersebut [80:1-4] ditujukan kepada Nabi saw walaupun ayat selanjutnya dikatakan kepada Nabi saw.
Mereka yang biasa dengan bahasa al-Quran, sudah pasti tahu dengan tata cara penulisan Al-Qur’an pada pertukaran diantara orang pertama, kedua dan ketiga. Terdapat banyak ayat di dalam al-Quran; dimana Allah begitu saja menukarkan terhadap yang diperkatakan, dan dengan begitu,biasanya tidak mudah untuk menentukan siapa yang diperkatakan ,apabila nama mereka yang diperkatakan tidak disebutkan.

Pemuka dari kalangan Ahlu Bait Rosulullah saw yaitu Imam Jafar “Ash-Sadiq” bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib as berkata:
Surat Abasa telah diwahyukan mengenai seorang dari bani umayyah, dia berada bersama nabi saw, kemudian Ibn Umm-Maktoom datang, ketika dia melihat beliau, dia menghinanya; menjauhkan diri, mengerutkan muka (bermuka masam) dan berpaling darinya. Maka Allah telah mengatakan, apa yang tidak disukai-Nya dari tindakkan bani Umayyah itu.
Rekonstruksi atas Azbabun Nuzul
Peristiwa pada turunnya surah ini adalah suatu kejadian sejarah. Suatu ketika Nabi saw masih berada di Mekah beliau ditanya oleh seorang pembesar Quraish yang kaya dan berpengaruh bernama Walid bin Mughirah mengenai agama yang dibawanya yaitu Al Islam. Adalah Kewajiban Rosulullah saw untuk menjawab dan memberi keterangan dalam majelis yang dihadiri juga oleh beberapa kaum Quraish yang lain. Saat nabi menyampaikan penjelasan kepada mereka, datanglah ketengah majelis tersebut Abdullah Ibn Umm Maktoom yang buta - seorang dari para sahabat nabi saw - ingin ikut mendengarkan. Nabi saw menyambutnya dengan hormat dan mendudukkannya dekat dengan Nabi saw.
Oleh karena Abdullah miskin dan buta, pembesar Quraish memandang rendah kepadanya, dan tidak suka kepada sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepadanya oleh Nabi saw. Mereka juga tidak suka dengan kehadiran si buta diantara mereka, dan menganggu percakapan mereka dengan nabi saw. Akhirnya seorang dari pembesar Quraish [Walid bin Mughirah] berkerut muka pada Abdullah dan berpaling dari dia.
Perbuatan pembesar Quraish ini telah membuat Allah murka, dan Dia telah menurunkan Surah 80 [Abasa] melalui Jibril pada saat itu juga. Surah ini menyanjung kedudukan Abdullah walaupun dia miskin dan buta. Di dalam 4 ayat pertama, Allah mengecam tindakkan buruk pembesar Quraish. Dan di dalam ayat-ayat yang berikutnya, Allah memperingatkan nabi saw bahwa menyampaikan kepada yang kafir tidaklah perlu jika si kafir tidak berhasrat untuk membersihkan diri dan menyakiti pula orang yang beriman, karena miskin dan cacat.
Mohon agar direnungkan oleh kita:
Nabi Islam Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib saw, yang merupakan sebaik-baiknya mahkluk ciptaan Allah swt jelas merupakan manusia yang fana secara lahir tapi tidak secara ruhani yang oleh Al Qur’an sudah disebutkan sebagai Puncak memuliaan makhluk.
Akal orang yang beriman tidak dapat menerima bagaimana Nabi saw yang telah dikirimkan ALLAH swt dari sejak awal sampai akhir zaman sebagai RAHMAT AL ‘ALAMIN boleh berkelakuan dengan begitu keji
Jika bermuka masam bukanlah satu ahlak yang baik bagi muslim biasa apalagi untuk kepribadian atau tingkah laku Nabi saw, yang masih bisa tersenyum walaupun terhadap musuhnya, apa lagi ditujukan terhadap mereka yang beriman yang ingin mendapat petunjuk.
Apakah untuk bertauhid kepada Allah swt harus mengorbankan kemuliaan ahlak Nabi Islam saw yang sangat disanjung oleh Robbul ‘Alamin sendiri?
Apakah kita muslimin akan menyalahkan orang nasrani bila mereka berkata bahwa Yesus menyembuhkan orang buta sementara Nabi Islam saw malah berpaling dari orang buta?

----------------------------------------------------------------------

Rujukan:
al-Mizan, oleh al-Tabataba'i (Arab), jilid 20, ms 222-224.
al-Jawhar al-Thameen fi Tafsir al-Kitab al-Mubeen, oleh Sayyid
Abdullah Shubbar, jilid 6, ms 363.
Perbahasan lebih lanjut boleh dibaca dari buku karangan Hussein al-
Habsyi bertajuk,"Nabi SAWA Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam,"
Penerbitan al-Kautsar, Jakarta,1992.

Tidak ada komentar: