Minggu, 30 Agustus 2009

KRITIK ATAS WAKTU MEMULAI PUASA DAN WAKTU BERBUKA PUASA

Udah lama pingin banget nulis hal ini. Tetapi baru sekarang aku memberanikan diri. Karena apa yang hendak aku tuliskan, sebetulnya dapat saja dengan mudahnya diragukan kebenarannya oleh para penganut paham Argumentum ad Hominem.
Pasalnya, aku seorang mahasiswa fakultas hukum yang buta akan tafsir agama, memberanikan diri menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits.
Kepada para ahli agama, mohon maaf jika apa yang aku sampaikan ternyata berbeda dengan pendapat Anda.
Ini seputar waktu berbuka puasa dan waktu memulai puasa.
Banyak diantara temen-temenku yang sering kali menegur untuk segera berbuka puasa. Mereka berkata bahwa Nabi memerintahkan kita untuk menyegerakan berbuka puasa. Dalam hatiku aku bertanya, kalau memang menyegerakan, knapa ndak berbuka puasa ketika jam 9 pagi saja? Hehehe…ini hanya pertanyaan bodoh yang sepintas ada dalam pikiranku saat itu.
Aku coba membuat saat-saat berbuka puasa itu menjadi sebuah diskusi yang menarik. Untungnya di handphoneku ada Al-Qur’an digital. Segera saja aku buka Surat Al-Baqarah ayat 187. Disana terdapat ketentuan mengenai waktu berbuka puasa dan waktu memulai puasa.
”… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…” (QS. Al-Baqarah : 187)

Waktu memulai puasa
Banyak diantara kita yang berpendapat bahwa waktu memulai puasa adalah ketika masuk waktu adzan subuh. Bahkan diantaranya ada yang menghentikan aktivitas makan dan minum mereka beberapa menit sebelum adzan subuh. Apakah itu benar?
Menurutku yang dhoif ini, waktu tersebut tidak sesuai dengan penafsiranku terhadap ayat tersebut. Aku ndak berani mengatakan pendapat mayoritas umat Islam itu berbeda dengan ayat Al-Qur’an. Aku hanya berani mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan waktu berbuka puasa adalah ketika adzan subuh (menurut mayoritas umat Islam), berbeda dengan penafsiranku terhadap surat Al-Baqarah ayat 187.

Dalam Shahih Muslim, hadits No. 1825, Hadits riwayat Sahal bin Saad RA, ia berkata: Ketika turun ayat: Makan dan minumlah hingga nyata bagimu benang yang putih dari benang yang hitam. Beliau berkata: seorang lelaki mengambil seutas benang yang berwarna putih dan seutas benang berwarna hitam. Lalu ia makan sampai kedua benang tersebut kelihatan jelas olehnya sampai akhirnya Allah menurunkan ayat kelanjutannya ’Pada waktu fajar’.
Riwayat diatas bercerita tentang seseorang yang menjadikan seutas benang putih dan hitam sebagai tanda mulainya waktu berpuasa. Tidak seperti sekarang kita ini yang menjadi jadwal imsakiyah sebagai patokan. Lho, emangnya salah kalau jadwal imsakiyah dijadikan patokan?
Menurutku, tidak terlalu tepat. Kesimpulan ini aku ambil ketika aku membaca sebuah riwayat dan membaca penafsiran Ibnu Katsir atas ayat tersebut.

Ibnu Katsir menafsirkan surat al-baqarah ayat 187 mengenai waktu memulai puasa, ”yakni hingga jelas terangnya pagi dari gelapnya malam. Dan untuk menghilangkan kesamaran, maka Allah berfirman ’yaitu fajar’.”
Menurutku, penafsiran Ibnu Katsir itu sesuai dengan hadits riwayat Adi bin Hatim RA: Ketika turun ayat: Sehingga nyata bagimu benang yang putih dari benang yang hitam, yaitu fajar, maka Adi bin Hatim berkata kepada Rasulullah Saw: Wahai Rasulullah, sungguh saya meletakkan benang berwarna putih dan benang berwarna hitam di bawah bantalku, sehingga aku dapat mengenali antara waktu malam dan waktu siang hari. Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya bantalmu itu sangat lebar. Sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya (gelapnya) malam dan putihnya (terangnya) siang pada saat fajar. (Shahih Bukhari No. 1824)
Dari Surat Al-Baqarah 187 dan hadits2 diatas, aku berpikiran bahwa waktu untuk memulai puasa adalah ketika langit sudah mulai terang atau ketika jelas terangnya pagi dari gelapnya malam. Di Al-Qur’an disebutkan waktu itu adalah waktu fajar atau waktu shalat subuh.
Mari sejenak kita cocokkan waktu adzan subuh menurut jadwal imsakiyah dengan ketentuan yang ada dalam ayat dan hadits diatas.
Kok bisa waktu adzan subuh disamakan dengan waktu fajar (waktu memulai puasa)?
Karena waktu fajar juga digunakan untuk menunjukkan waktu shalat subuh dalam Surat Al-Isra’ ayat 78:
”Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) fajar. Sesungguhnya shalat fajar itu disaksikan (oleh malaikat).”

Aku mendapati bahwa waktu adzan subuh menurut jadwal imsakiyah jauh lebih cepat ketimbang waktu yang telah ditentukan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 187.
Menurut Nabi, waktu memulai puasa adalah ketika jelas ”terangnya siang” atau dalam riwayat lain ”terangnya pagi”, dari ”gelapnya malam”. Dalam arti lain bahwa kita memulai puasa ketika langit sudah agak terang. Sedangkan pada waktu memulai puasa atau waktu subuh menurut jadwal imsakiyah, langit masih dalam keadaan gelap. Bisa dikatakan disini bahwa waktu mulai berpuasa menurut Al-Qur’an dan waktu memulai puasa menurut jadwal imsakiyah, berbeda.

Jadi, waktu shalat subuh atau shalat fajar adalah waktu untuk memulai puasa. Dan itu adalah ketika mulai jelas terangnya pagi dari gelapnya malam. Atau dalam kata lain, langit sudah mulai terang.

Waktu Berbuka Puasa
Aku juga tidak sepakat dengan waktu maghrib menurut jadwal imsakiyah. Waktu maghrib menurut jadwal imsakiyah sering kali dijadikan patokan waktu untuk berbuka puasa. Betulkah hal itu dijadikan patokan?
Menurut surat Al-Baqarah ayat 187 bahwa waktu berbuka puasa adalah:
”…Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…”
Waktu berbuka puasa menurut Al-Qur’an adalah ketika datangnya malam. Apa tanda-tandanya?
Untuk menafsirkan ayat ini, jauh lebih aman jika kita menggunakan hadits untuk menafsirkannya.
Memang betul bahwa Nabi pernah berkata bahwa manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka. (Shahih Bukhari dan Muslim). Tetapi bukan berarti kita berbuka bukan pada waktunya.

Hadits riwayat Umar RA, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Ketika malam datang, siang pergi dan matahari pun terbenam, maka saat itulah orang yang berpuasa mulai berbuka. (Shahih Muslim, Hadits No. 1841).
Jadi, waktu berbuka puasa itu ketika malam datang, siang pergi dan matahari terbenam. Waktu berpuasa bukan ketika sudah masuk waktu yang ditentukan dalam jadwal Imsakiyah.
Tapi riwayat di Shahih Muslim diatas belum menjelaskan secara detail kapan waktu berbuka puasa.
Dalam riwayat Shahih Bukhari, disebutkan dengan jelas waktu berbuka puasa.
Umar bin Khattab dari ayahnya, ia berkata: ”Rasulullah bersabda: ’Apabila malam datang dari sini dan siang berlalu dari sini, sedang matahari telah terbenam, maka sesungguhnya orang yang berpuasa boleh berbuka.’”
Diatas, ada kata-kata ”malam datang dari sini dan ”siang berlalu dari sini”. Apa maksudnya ini?
Menurutku, maksudnya ”malam datang dari sini” adalah malam datang dari sebelah timur. Langit disebelah timur sudah mulai menggelap. Sedangkan ”Siang berlalu dari sini”, maksudnya adalah siang berlalu dari sebelah barat. Pada langit sebelah barat terdapat rona merah.

Lagi-lagi, ketika aku cocokkan dengan waktu imsakiyah, ternyata berbeda. Ketika adzan maghrib berkumandang (menurut waktu jadwal imsakiyah), langit di sebelah timur masih terang. Tanda-tanda datangnya malam belum tampak.
Jadi, masihkah kita berpatokan pada jadwal imsakiyah? Ya itu sih terserah Anda. Aku tidak berani mengatakan bahwa pendapatku ini yang paling benar.

Hanya Allah-lah yang lebih mengetahui siapa-siapa yang berada pada jalan kebenaran. (An-Nahl ayat 125).

Copy&Paste directly from: http://ressay.wordpress.com/2009/08/25/kritik-atas-waktu-memulai-puasa-dan-waktu-berbuka-puasa/

Izzyway :
Pembahasan yang bagus, untuk waktu mulai puasa memang hampir semua orang sudah mengerti bahwa Imsak adalah waktu untuk berhenti makan dan minum (biasanya 10 menit sebelum azan subuh) karena demi kehati-hatian jangan sampai kita kebablasan masih memasukkan makanan/minuman kedalam mulut sampai tiba masuk waktu subuh, karena kita dimasa yang serba instan ini, hanya berpatokan dengan azan bukan lagi penglihatan terhadap tanda-tanda alam.

Yang sering buat saya miris adalah waktu maghrib. Karena saya pernah tinggal di tepi pantai dan saya selama berhari-hari sungguh-sungguh mengamati bahwa ketika azan maghrib berkumandang, matahari dibarat masih merona merah cerah dan di timur masih terang benderang. Dan saya putuskan untuk menghitung sampai berapa lama kondisi tenggelam dan gelap itu tercapai. Ternyata butuh waktu 15-20 menit untuk kemudian kondisi itu tercapai.
Sejak itu saya selalu menunggu 15-20 menit sejak azan maghrib berkumandang untuk mulai berbuka puasa.
Kenapa?
Pertimbangan saya adalah dengan keawaman saya dan datangnya informasi dan ilmu yang bertabrakan dengan kebiasaan, saya memilih untuk berhati-hati dan mencari aman. Sama halnya dengan konsep waktu imsak yang diadakan demi prinsip kehati-hatian. Toh kalau memang benar menurut Allah SWT waktu berbuka adalah saat azan magrib yang diberlakukan sekarang setidaknya saya tidak dosa karena saya tidak bersegera untuk buka puasa (karena menunggu 15 menit), dan puasa saya pasti terselamatkan dari penalti karena berbuka sebelum waktunya.
Dan kalau ternyata yang benar adalah memang harus revisi waktu maghrib mundur 15-20 menit, kupanjatkan Alhamdulillah atas hidayah-NYA yang telah menyelamatkanku dari kesia-sia-an ibadah.

Pilihan terserah pada masing-masing pencari kebenaran, setidaknya periksa sendiri rujukan terjemahan Al Quran dan hadistnya (tips: Kalau tidak ketemu hadisnya dibuku hadis yang dirumah mungkin karena itu ringkasan hadist, cari yang edisi lengkapnya pasti ketemu).

Minggu, 02 Agustus 2009

Nabi saw Tidak Bermuka Masam

(Meluruskan Tafsir Al Qur’an atas Surat 80 : Abasa : 1-11)
Surah 80 (Abasa)


Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
“Dia” bermuka masam dan berpaling (sedang dia bersama nabi).
Karena telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).
Tahukah kamu barangkali dia (si buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Atau dia (ingin) mendapat pengajaran (dari Rasul saw) lalu pengajaran itu memberikan manfa'at kepadanya?
Adapun orang (Pembesar Quraish) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],
maka kamu melayaninya
Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman),
Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera,
Dan dia takut (kepada Allah),
maka kamu mengabaikannya,
Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.


Terdapat beberapa penafsir (termasuk yang ada di terjemahan Al Qur’an yang beredar di Indonesia umumnya) yang menafsirkan “Dia” pada surat 80 ayat 1 sebagai Muhammad saw
Penafsiran ini secara secara langsung menempatkan Nabi Islam saw sebagai pelaku pelecehan terhadap Abdullah ibn Umm Maktoom (seorang yang sudah menjadi Mukmin), dengan menunjukkan muka masam dan berpaling darinya
atau secara tidak langsung mengatakan bahwa Nabi saw berakhlak rendah yang kurang terpuji.
Benarkah demikian ???
Bagaimana neraca kebenaran hati dan akal kita umat Islam dalam menempatkan Nabi saw dalam kedudukan yang sepantasnya bagi beliau???

Hadist sababun nuzul Surat 80 yang menisbahkan “Dia” kepada Nabi saw:
Telah dikatakan bahwa ayat ini diturunkan mengenai Abdullah Ibn Maktoom, dia adalah Abdullah Ibn Shareeh Ibn Malik Ibn Rabi'ah al-Fihri dari suku Bani 'Amir Ibn Louay. Para mufassir banyak meriwayatkan bahwa ketika itu dia datang kepada Pesuruh Allah saat Nabi saw sedang menyampaikan dakwah Islam kepada kaum Quraish antara lain : al-Walid bin al-Mughirah, Abu Jahl Ibn Husham, al-Abbas Ibn Abd al-Muttalib, Umayyah bin Khalaf, Utbah dan Syaibah. Si buta itu berkata: `Wahai Pesuruh Allah, bacakan dan ajarkan kepada ku, apa-apa yang Allah telah ajarkan kepada kamu.' Dia terus memanggil kepada nabi saw dan mengulangi permintaannya, dengan tidak diketahuinya bahwa Nabi saw sedang sibuk menghadapi kaum Quraish yang lain, sehingga timbulah raut ketidaksenangan pada wajah Pesuruh Allah kerana merasa terganggu. Nabi saw berkata pada dirinya sendiri bahwa dengan menyahuti si buta pembesar-pembesar ini akan memandangnya rendah dan akan mengatakan Nabi saw sebagai orang yang pengikutnya adalah orang buta dan juga hamba sahaya, maka baginda berpaling dari diri dia [si buta], dan menghadap kepada pembesar-pembesar yang dengannya nabi saw berbicara. Kemudian ayat itu diwahyukan, dimana Allah SWT menegur Nabi saw
Diriwayatkan kemudian bahwa semenjak itu Rasulullah saw, setiap bertemu Ibn Umm Maktoom akan selalu melayaninya dengan baik dan jika baginda melihatnya, baginda akan berkata, kesejahteraan bagi dirinya yang mana Tuhanku telah menegur ku dengan dirinya.' Nabi saw akan bertanya jika dia memerlukan apa-apa, dan dua kali dia ditinggalkan di Madinah sebagai wakil ketika nabi saw dan mukminin keluar untuk misi peperangan.

Riwayat senada bisa ditemukan dalam kitab Sunan Turmudzi. Ulasan oleh seperti yang diatas telah juga dinyatakan di dalam "al-Durr al-Mantsur", oleh al-Suyuti, dengan ada sedikit perbedaan.

Abul A’la Maududi seorang penafsir al-Quran mempunyai pandangan sederhana. Berikut ini perterjemahannya untuk ayat 80:17 :

"Disini kecaman telah ditujukan terus kepada yang kafir, yang tidak mengindahkan kepada berita kebenaran. Sebelum ini, semenjak awal surah sampai ke ayat 16, kecaman ditujukan walaupun kelihatan kepada nabi saw, tetapi yang sebenarnya bertujuan mengecam mereka yang kafir". (Rujukan: Tafsir al-Quran, oleh Abul Ala Maududi, halaman 1005, dibawah ulasan ayat 80:17 (Islamic Publications (Pvt.), Lahore)

MELURUSKAN TAFSIR SURAT 80 LEWAT METODE TAFSIR AL QUR AN DENGAN AL QUR AN

kalau kiranya Al Qur’an ini bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak didalamnya (4: An Nisaa : 82)
1. Apakah mungkin Nabi saw berahlak buruk dengan melakukan tindakan penghinaan ke pada seorang mukmin yang buta dan miskin demi mendahulukan orang2 kafir Quraish yang kaya dan berpengaruh?
Perhatikan aya-ayat berikut :
Dan berilah peringatan kepada keluarga terdekat, dan berendah dirilah kepada mereka yang mengikutmu, yaitu orang-orang yang beriman (26: Asy Syu’araa :214-215)
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik (15: Al Hijr : 94)
Janganlah kamu sekali-sekali menunjukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan diantara mereka (orang-orang kafir) dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka, dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman (15: Al Hijr : 88)

Dalam ayat-ayat diatas jelas sekali bahwa nabi saw telah diperintahkan oleh Allah untuk berendah diri terhadap orang-orang mukmin dan berpaling terhadap orang-orang kafir. Nabi saw tidak mungkin melanggar perintah Allah.

2. Bagaimana ahlak Nabi saw sebenarnya menurut Al Qur’an?
Perhatikan ayat-ayat berikut :
Demi bintang ketika terbenam ; Kawanmu (muhammad) tidak sesat dan tidak juga keliru ; Dan tiadalah yang diucapkannya (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya sendiri ; Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (53: An Najm :1-4)
Jadi bagaimana nabi saw mengatakan sesuatu yang buruk jika segala perkataannya adalah wahyu atau ilham dari Allah?
Nabi saw TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya
Nun ; Demi kalam dan apa yang mereka tulis; Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (muhammad) sekali-kali bukan orang gila ; Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar dan tidak putus-putus ; Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (khuluqin-azim) (68: Al Qalam : 1-4)
Ulama sepakat Surah al-Qalam [68] diwahyukan sebelum Surah Abasa [80].
Akal orang yang beriman pada Al Quran tidak dapat menerima fakta yang bertolak belakang dimana disatu ayat Allah memuji Nabi saw dari permulaan kenabiannya, bahwa dia mempunyai akhlak yang termulia, dan kemudian pada ayat yang lain yang diturunkan kemudian berbalik mengecam dan mengkritik orang yang sama terhadap perbuatan darinya yang tidak mencerminkan kemuliaan ahlak
Sesungguhnya telah ada pada diri Rosulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (uswatun hasanah)… (33 : Al Ahzab :21)
Allah tidak mungkin memberi manusia teladan ahlak yang tidak baik yang dinisbahkan kepada Nabi saw
3. Apakah Peringatan Allah terhadap orang kafir sama dengan perlakuan Allah terhadap Nabi saw?
Perhatikan ayat-ayat berikut :
Dia bermuka masam dan berpaling (80: Abasa : 1)
Sesudah itu dia bermuka masam dan merengut (74 : Al Muddatstsir :22)
Dalam 30 Juz Al Qur’an kata ‘ABASA (bermuka masam) digunakan oleh Allah 2 kali saja, selain pada surat 80:1 yang lain adalah di surat 74:22 . yang secara jelas pada surat 74:22 tersebut ditujukan kepada Walid bin Mughirah (kafir Quraish).
Tetapi ia mendustakan (rasul) dan berpaling (dari kebenaran) (75 : Al Qiyaamah :32)
Tetapi orang yang berpaling dan kafir (88 : Al Ghaasiyiyah :23)
Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? (96 : Al ‘Alaq :13)
Dalam 30 Juz Al Qur’an, kata TAWALLAA (berpaling) selain pada surat 80:1 digunakan oleh Allah beberapa kali pada surat yang lain yang semuanya merujuk pada perbuatan orang-orang kafir,
SUDAH JELAS NABI SAW TIDAK SAMA APALAGI DAPAT DIPERSAMAKAN DENGAN ORANG KAFIR
4. Bagaimana kontradiksi penggunaan kata “Dia:” dan “kamu” dalam ayatayat pada Al Quran surat 80, sehingga mendorong untuk menisbahkan teguran Allah kepada nabi saw?
Bagaimanapun, yang sebenarnya, Al Qur’an TIDAK memberikan sembarang bukti bahwa orang yang berkerut muka pada si buta adalah nabi saw, dan tidak juga mengatakan kepada siapa ditujukan. Di dalam ayat Al Qur’an di atas Allah TIDAK mengatakan kepada nabi sama dengan nama atau darjah [yaitu Wahai Muhammad, atau Wahai Nabi atau Wahai Rasul] Lebih-lebih lagi terdapat pertukaran ganti nama `dia' didalam dua ayat pertama kepada `kamu' di dalam ayat yang berikutnya disurah tersebut. Allah TIDAK mengatakan:

`Kamu berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling'. Bahkan Allah berfirman:
80:1 “Dia” bermuka masam dan berpaling (sedang dia bersama nabi).
80:2 Karena telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).
80:3 Tahukah “kamu” barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Walaupun jika kita menganggap bahwa `kamu' di dalam ayat yang ketiga ditujukan kepada nabi saw, maka dengan ini jelaslah dari tiga ayat yang diatas bahwa perkataan `dia' [orang yang bermuka masam] dan `kamu' menunjukkan dua individu yang berlainan. Dua ayat yang berikutnya juga menyokong kata-kata itu:

80:5 Adapun orang yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],
80:6 maka kamu melayaninya
80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).

Dari itu orang yang bermuka masam adalah yang lain (bukan) Nabi saw sendiri disebabkan oleh perbedaan yang nyata diantara `dia' dengan `kamu'. Di dalam ayat 80:6 Allah berfirman kepada Nabi saw dengan mengatakan bahwa, menyampaikan kepada ahli Quraish yang sombong, yang bermuka masam kepada si Buta tidak ada faedahnya, dan tidak perlu diutamakan dari menyampaikan kepada si buta, walaupun si buta datang kemudian. Sebabnya adalah, menyampaikan kepada sesaorang yang tidak mau mensucikan dirinya [sehinggakan dia bermuka masam kepada orang yang beriman] tidak akan ada hasilnya.
Para pentafsir al-Quran yang lain berhujah bahwa, bahkan persoalan pada ayat ketiga dan keempat pada surah tersebut mengenai keraguan terhadap Abdullah mendapat faedah atau tidak dari berkata-kata dengan Nabi saw, hanya bisa terdapat di dalam fikiran seorang yang belum memeluk Islam, Ini tidak pernah berlaku di dalam fikiran Nabi saw yang telah disiapkan Allah untuk menyampaikan keimanan kepada semua manusia tanpa memandang kedudukan mereka di dalam kalangan manusia. Berdasarkan itu, mereka merumuskan bahwa perkataan `kamu' pada ayat ketiga masih tidak ditujukan kepada nabi, tetapi menunjukkan kepada salah seorang dari kafir Quraish yang hadir, dan bahwa TIADA dari empat ayat pertama, dari surah tersebut [80:1-4] ditujukan kepada Nabi saw walaupun ayat selanjutnya dikatakan kepada Nabi saw.
Mereka yang biasa dengan bahasa al-Quran, sudah pasti tahu dengan tata cara penulisan Al-Qur’an pada pertukaran diantara orang pertama, kedua dan ketiga. Terdapat banyak ayat di dalam al-Quran; dimana Allah begitu saja menukarkan terhadap yang diperkatakan, dan dengan begitu,biasanya tidak mudah untuk menentukan siapa yang diperkatakan ,apabila nama mereka yang diperkatakan tidak disebutkan.

Pemuka dari kalangan Ahlu Bait Rosulullah saw yaitu Imam Jafar “Ash-Sadiq” bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib as berkata:
Surat Abasa telah diwahyukan mengenai seorang dari bani umayyah, dia berada bersama nabi saw, kemudian Ibn Umm-Maktoom datang, ketika dia melihat beliau, dia menghinanya; menjauhkan diri, mengerutkan muka (bermuka masam) dan berpaling darinya. Maka Allah telah mengatakan, apa yang tidak disukai-Nya dari tindakkan bani Umayyah itu.
Rekonstruksi atas Azbabun Nuzul
Peristiwa pada turunnya surah ini adalah suatu kejadian sejarah. Suatu ketika Nabi saw masih berada di Mekah beliau ditanya oleh seorang pembesar Quraish yang kaya dan berpengaruh bernama Walid bin Mughirah mengenai agama yang dibawanya yaitu Al Islam. Adalah Kewajiban Rosulullah saw untuk menjawab dan memberi keterangan dalam majelis yang dihadiri juga oleh beberapa kaum Quraish yang lain. Saat nabi menyampaikan penjelasan kepada mereka, datanglah ketengah majelis tersebut Abdullah Ibn Umm Maktoom yang buta - seorang dari para sahabat nabi saw - ingin ikut mendengarkan. Nabi saw menyambutnya dengan hormat dan mendudukkannya dekat dengan Nabi saw.
Oleh karena Abdullah miskin dan buta, pembesar Quraish memandang rendah kepadanya, dan tidak suka kepada sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepadanya oleh Nabi saw. Mereka juga tidak suka dengan kehadiran si buta diantara mereka, dan menganggu percakapan mereka dengan nabi saw. Akhirnya seorang dari pembesar Quraish [Walid bin Mughirah] berkerut muka pada Abdullah dan berpaling dari dia.
Perbuatan pembesar Quraish ini telah membuat Allah murka, dan Dia telah menurunkan Surah 80 [Abasa] melalui Jibril pada saat itu juga. Surah ini menyanjung kedudukan Abdullah walaupun dia miskin dan buta. Di dalam 4 ayat pertama, Allah mengecam tindakkan buruk pembesar Quraish. Dan di dalam ayat-ayat yang berikutnya, Allah memperingatkan nabi saw bahwa menyampaikan kepada yang kafir tidaklah perlu jika si kafir tidak berhasrat untuk membersihkan diri dan menyakiti pula orang yang beriman, karena miskin dan cacat.
Mohon agar direnungkan oleh kita:
Nabi Islam Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib saw, yang merupakan sebaik-baiknya mahkluk ciptaan Allah swt jelas merupakan manusia yang fana secara lahir tapi tidak secara ruhani yang oleh Al Qur’an sudah disebutkan sebagai Puncak memuliaan makhluk.
Akal orang yang beriman tidak dapat menerima bagaimana Nabi saw yang telah dikirimkan ALLAH swt dari sejak awal sampai akhir zaman sebagai RAHMAT AL ‘ALAMIN boleh berkelakuan dengan begitu keji
Jika bermuka masam bukanlah satu ahlak yang baik bagi muslim biasa apalagi untuk kepribadian atau tingkah laku Nabi saw, yang masih bisa tersenyum walaupun terhadap musuhnya, apa lagi ditujukan terhadap mereka yang beriman yang ingin mendapat petunjuk.
Apakah untuk bertauhid kepada Allah swt harus mengorbankan kemuliaan ahlak Nabi Islam saw yang sangat disanjung oleh Robbul ‘Alamin sendiri?
Apakah kita muslimin akan menyalahkan orang nasrani bila mereka berkata bahwa Yesus menyembuhkan orang buta sementara Nabi Islam saw malah berpaling dari orang buta?

----------------------------------------------------------------------

Rujukan:
al-Mizan, oleh al-Tabataba'i (Arab), jilid 20, ms 222-224.
al-Jawhar al-Thameen fi Tafsir al-Kitab al-Mubeen, oleh Sayyid
Abdullah Shubbar, jilid 6, ms 363.
Perbahasan lebih lanjut boleh dibaca dari buku karangan Hussein al-
Habsyi bertajuk,"Nabi SAWA Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam,"
Penerbitan al-Kautsar, Jakarta,1992.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Benarkah Nabi Muhammad SAW Pernah Tersihir?

Riwayat Nabi Muhammad saw. disihir telah dimuat dalam beberapa buku standar yang beredar dan diyakini oleh para penulisnya, dan banyak kalangan yang bertaklid (berpegang) kepada mereka sebagai sesuatu yang sahih. Hadits yang meriwayatkannya termuat di Bukhari dan Muslim dengan redaksi yang tidak sama tapi mempunyai kandungan yang senada.

Hadis Riwayat Muslim:

Abu Kuraib membawakan riwayat dari Ibn Numair dari Hisyam dari ayahnya Urwah ibn Zubair dari Aisyah, bahwa Rosulullah saw. disihir oleh seorang Yahudi dari suku Zuraiq bernama Labid bin A’sham. Sehingga Nabi saw. berkhayal melakukan sesuatu, padahal tidak. Dan pada suatu hari/malam, Rosulullah saw. berdoa dan berdoa terus, kemudian berkata, “Hai Aisyah! Tahukah engkau bahwa Allah telah berkenan menerima doa yang kupanjatkan? Telah datang dua orang, lalu yang satu duduk di sebelah kepalaku dan yang lain di samping kaki, kemudian yang berada di sebelah kepalaku berkata kepada yang berada di sebelah kakiku atau yang berada di sebelah kakiku berkata kepada yang berada di sebelah kepalaku, ’Apa sakit orang ini?’, ‘Tersihir,’ jawab temannya. ‘Siapa yang menyihirnya?’ Temannya menjawab, ‘Labid bin al A’sham.’ Ia berkata, ‘Pada apa?’ Temannya menjawab, ‘Pada sisir , rontokan rambut dan mayang pokok kurma jantan.’ Ia berkata, ‘Dimana?’ temannya menjawab, ‘Disumur Dzarwan.’ ”

Aisyah berkata, ”Setelah mendatangi sumur tersebut bersama sejumlah sahabatnya, Rosulullah saw. berkata, ‘Hai Aisyah! Demi Allah seakan-akan airnya seperti air pacar, dan pohon kurmanya seperti kepala-kepala setan.’ “

Aisyah berkata,” Wahai Rosulullah! Mengapa anda tidak membakarnya?” Beliau menjawab, “Tidak, aku telah disembuhkan oleh Allah, dan aku enggan menimbulkan kejahatan atas manusia. Aku hanya perintahkan agar sumur ini ditutup.”

Berikut komentar dari seorang ulama besar Islam.

Syekh Muhammad Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya mengkritik dengan keras anggapan bahwa Nabi Islam saw. terpengaruh oleh sihir. Beliau berkata:

"Dalam hal ini mereka meriwayatkan hadis-hadis bahwa Nabi saw tersihir oleh Labid bin A'sham. Sihir itu berpengaruh pada diri Beliau, sehingga beliau beranggapan sedang melakukan sesuatu padahal tidak, atau mendatangi sesuatu padahal tidak. Kemudian Allah memberitahukan kepada beliau tentang hal itu. Lalu bahan-bahan sihir itu dikeluarkan dari sebuah sumur, dan sembuhlah beliau saw. dari pengaruh sihir tersebut dan turunlah surat ini (al-Falaq).

Dan tidak samar lagi bahwa pengaruh sihir atas beliau saw. yang menyebabkan beliau menganggap melakukan sesuatu padahal tidak, bukan tergolong pengaruh sakit pada fisik dan tidak pula sama dengan lalai atau lupa dalam hal-hal yang biasa, akan tetapi ini berpengaruh pada akal dan jiwa. Dan ini akan membenarkan tuduhan orang-orang musyrik pada beliau saw:

"Kamu tidak mengikuti kecuali seorang yang terkena sihir." (QS.17:47)

Menurut anggapan mereka (orang musyrik), seorang yang terkena sihir itu tidak lain adalah seorang yang kacau akalnya dan berkhayal bahwa sesuatu telah terjadi, padahal tidak, maka ia berkhayal bahwa ia menerima wahyu padahal tidak.

Dan banyak dari para muqallid (orang awam yang menyandarkan pemahaman agama pada para mujtahid/ulama taqlid), yang tidak memahami hakikat kenabian dan syarat wajib kenabian, beranggapan bahwa cerita pengaruh sihir atas jiwa Nabi Islam saw. itu sahih, maka harus diyakini, dan menolak kebenarannya adalah bid'ah, sebab ini sama dengan ingkar terhadap sihir, padahal Al-Quran telah menetapkan adanya sihir.

Syekh Abduh melanjutkan:

"Lihat dan perhatikanlah! Bagaimana agama yang benar dan kebenaran yang gamblang telah berubah menjadi bid'ah dalam pandangan seorang muqallid. Ia berhujjah dengan Al-Quran untuk menetapkan sihir sementara ia sendiri berpaling dari Al-Quran yang menolak membenarkan sihir atas Nabi Islam saw. dan menganggapnya sebagai tuduhan palsu kaum musyrik".

Yang wajib diyakini adalah bahwa Al-Quran pasti benar, (ia adalah kitab Allah yang dinukil secara muttawatir (banyak periwayat) dari Nabi Islam saw yang maksum (disucikan Allah dari dosa). Apa yang ditetapkan Al-Quran wajib kita yakini, apa yang dinafikannya tidak wajib kita yakini. Sementara Al-Quran telah menafikan pengaruh sihir pada Nabi Islam saw. Jadi beliau saw secara pasti tidak terpengaruh oleh sihir (tersihir).

Dan sekarang yang harus kita lakukan ialah tidak menjadikan hadis itu sebagai tolak ukur akidah kita. Karena dalam berakidah , kita harus mengambil dalil Al-Quran dan dalil akal. Jika Nabi Islam saw tersihir – kacau akalnya seperti anggapan mereka – bisa saja beliau saw mengira telah menyampaikan sesuatu padahal tidak, atau mengira sesuatu telah diterimanya padahal tidak, maka hal itu sudah jelas omong kosong.

Syekh Abduh melanjutkan:

“Sihir bisa saja berpengaruh pada orang lain sehingga ia menjadi gila, tetapi mustahil menimpa Nabi Islam saw., karena Allah telah memeliharanya.”

Setelah menjelaskan arti sihir dalam Al-Quran, beliau mengatakan :

“Kalau mereka benar-benar menghargai Al-Quran dan dan memiliki modal bahasa yang memadai bagi seorang yang berakal untuk berbicara, niscaya mereka tidak akan berbicara sembarangan seperti itu, dan tidak akan mencoreng nama Islam. Bagaimana mungkin surat al-Falaq ini turun berkenaan dengan kasus tersihirnya Nabi Islam saw, padahal ia tergolong surat Makkiah menurut ‘Atha’, Hasan, Jabir dan Ibn Abbas dalam riwayat Abu Kuraib, sementara peristiwa itu terjadi di kota Madinah!”

Sementara itu Allah menjamin penjagaan atas Rosul-Nya :

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang Ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang Ghaib itu. Kecuali kepada rosul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya. (QS.al-Jin : 26-27)

Dan Allah akan menjagamu dari (gangguan) manusia (QS.al-Maidah : 67)

Sebagai penutup marilah kita berharap bahwa kita tidak termasuk kedalam golongan orang-orang yang zalim yang disinyalir Allah Swt dalam firman-Nya :

Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan kamu (Nabi saw.), dan sewaktu mereka berbisik-bisk (yaitu) ketika orang-orang zalim itu berkata : ‘ Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir’. (QS.17.al-Israa’ :47)

Iw-Jan2007